PASTIKAN ANDA TERGABUNG DALAM YOGA RUTIN YANG DISELENGGARAKAN OLEH UKM YOGA SETIAP HARI MINGGU DI KAMPUS STAHN GPM JAM 07.00 SUDAH MULAI.

Sabtu, 13 Desember 2014

SEKILAS TENTANG “BIKRAM YOGA”

Bikram Yoga dikembangkan sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu oleh Bikram Choudury. Bikram adalah guru yoga dari India yang memiliki reputasi internasional. Dia membawa ajaran yoganya ke Amerika Serikat pada tahun 1971, atas undangan dari Asosiasi Dokter Amerika. Di bawah bimbingan gurunya, Bikram bekerjasama selama tiga tahun dengan dokter dan peneliti di Universitas Rumah Sakit Tokyo dan menciptakan jenis hatha yoga yang unik ini. Bikram Yoga secara ilmiah dirancang untuk melatih setiap bagian dari tubuh melalui 26 rangkaian postur selama 90 menit. Bikram Yoga dirancang untuk pemula, tapi tetap menantang bagi orang yang sudah lebih mahir.
“Tidak ada istilah terlalu parah
Tidak ada istilah terlalu tua
Tidak ada istilah terlalu sakit
Untuk mulai kembali dari nol” – Bikram Choudury
Bikram Yoga di dalam ruangan yang diberi cermin yang dipanaskan antara 38-42o C (suhu tubuh). Panas tersebut memungkinkan praktisi untuk dapat melakukan postur secara lebih mendalam, sehingga bisa lebih cepat mendapatkan manfaat dari yoga. Panas akan meminimalisir otot terkilir, sehingga mengurangi resiko cidera. Panas juga mendorong tubuh melakukan pembersihan dan detoksifikasi, selain juga membentuk stamina dan ketangguhan. Cermin yang ditempatkan di ruangan akan membantu praktisi memiliki kesadaran lebih terhadap tubuhnya, sehingga praktisi bisa memperbaiki dan memperdalam posturnya. Setiap postur bekerja secara bersinergi untuk mengembalikan tingkat keseimbangan tubuh. Yoga membantu praktisi untuk menciptakan energi dan kelenturan. Postur-postur Bikram Yoga memiliki efek tourniquet, yang secara efektif menekan, memijat, dan merengangkan organ internal, sehingga melancarkan sistem kardiovaskular. Tubuh yang terpelihara adalah tubuh yang mampu mengatur dan menyelaraskan dengan sendirinya. Seiring waktu, otot kita cenderung akan menjadi kaku, sehingga akan memperberat persendian. Melakukan peregangan rutin  akan membantu meringankan kaku otot dan lemah sendi. Karena itulah mengapa yoga disebut memiliki efek yang meremajakan.
Berikut adalah persyaratan untuk melakukan Bikram Yoga:
1.      Berusaha untuk latihan Bikram yoga setidaknya 3x seminggu, atau 10 x tiap bulan. Apabila anda latihan dengan intensitas kurang dari ini, anda tidak akan mendapatkan hasil yang baik pada penurunan berat badan.  Dari studi yang ada, praktisi Bikram yoga yang melakukan 5-6 sesi tiap minggunya, akan mendapatkan hasil yang sangat optimal.
2.      Anda harus benar-benar memaksimalkan pose yoga yang diajarkan oleh instruktur. Coba untuk menahan suatu pose dengan jangka waktu yang ditetapkan dan dianjurkan.  Untuk satu sesi Bikram Yoga, anda akan membakar sekitar 500-1000 kalori. Tetapi tentunya hal ini adalah suatu indikasi.  Berapa kalori yang anda bakar akan sangat tergantung dengan  pose yang dilakukan. Makin lemah pose yang dilakukan, maka makin sedikit kalori yang dibakar.
3.      Makanlah 4 jam sebelum sesi yoga dilakukan. Hal ini akan memberikan makanan untuk mengendap di lambung anda tetapi tidak membuat anda kelaparan.
4.      Minumlah yang cukup banyak sebelum latihan Bikram yoga dan setelahnya.
Tanpa melakukan hal diatas, praktisi tidak akan mendapatkan keuntungan maksimal pada latihan Bikram yoga.

Posted By: I Wayan Rudiarta
Sumber:

Dengan editing seperlunya J

Senin, 01 Desember 2014

PATANJALI YOGA SUTRA

“Atha Yoganusasanam”
(Atha) Sekarang Kita Menjelaskan (Anusasanam) tentang Yoga (Yoga)

Maharsi Patanjali menulis sutra ini sebagai sutra pertama. Sutra artinya benang, seperti benang yang dibuat dengan banyak benang yang kelihatannya satu namun didalamnya banyak bersemayam. Demikian pula sutra-sutra yang ditulis oleh Maharsi Patanjali kelihatannya sederhana tetapi memiliki arti yang sangat mendalam.
Kata Atha dalam bahasa Sansekerta ditulis sebelum kalimat. Berarti sebelum memulai suatu pekerjaan atau karya, para rsi dan penyair biasanya mempergunakan kata Atha, Aum, Shri Ganash, dan lain-lain itu sebagai kata yang suci karena dimulai dengan huruf A yang merupakan sabda awal penciptaan Tuhan. Maharsi Patanjali juga mempergunakan kata Atha sebagai kata pertama.
Di samping itu, para rsi dalam enam filsafat, yaitu Nyaya, Vaisiseka, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Vedanta juga mempergunakan kata “Atha”. Dalam Vedanta misalnya, Maharsi Badrayan menulis “Athato Brahma Jijnasa” yang artinya sekarang kita akan membahas tentang Tuhan. Demikian juga Mimamsa, filsafat dimulai dengan “Athato Dharma Jijnasa” yang artinya sekarang kita akan menerangkan tentang Dharma. Ajaran Samkya juga dimulai dengan “Atha”, yaitu sekarang kita akan membahas tentang tiga jenis duka yang didapatkan oleh manusia. Dengan demikian jelas Maharsi Patanjali menulis sutra pertama ini dengan tujuan ia merenungkan nama Tuhan dan penghormatan beliau terhadap Tuhan yang diwakili dengan kata Atha. Arti lainnya adalah bahwa agar sutra-sutra yang akan dia tulis tentang Yoga selesai tanpa hambatan dan gangguan. Kata Atha juga masuk dalam Mangalacaran yang artinya sebelum memulai pekerjaan setiap manusia patut ingat kepada Tuhan dan mohon agar karya yang ia tulis selesai tanpa gangguan. Patanjali juga memperguanakan hal yang sama untuk mengawali karyanya.
Anusasanam artinya membahas secara rinci. Disini artinya Maharsi Patanjali akan membahas secara rinci tentang Yoga, yaitu arti dari Yoga, cara melakukan Yoga, dan hasil serta tujuan dari Yoga. Dengan demikian kata Anusasanam disini digunakan untuk pengertian Yoga.
Kata terakhir sutra ini adalah Yoga. Yoga artinya penyatuan jiwa manusia dengan Tuhan. Arti lain dari Yoga adalah pelepasan dari segala ikatan duniawi. Dengan demikian sutra pertama yang ditulis oleh Maharsi Patanjali menjelaskan dan memberitahu kepada semua murid atau pecinta Yoga bahwa untuk kebahagiaan dan kesehatan semua umat manusia, ia akan memulai menulis dan membahas secara rinci tentang Yoga, agar semua umat manusia menikmati hidup dan terbebas dari tiga jenis duka sehingga setiap hari umat manusia bisa hidup bahagia dan penuh damai dengan mengikuti Yoga yang ia akan perkenalkan.
Maharsi Patanjali mucul setelah ia puluhan tahun bertapa di gunung Himalaya. Ia mendapatkan suatu metode untuk semua umat manusia agar dapat senantiasa hidup bahagia di dunia ini dan mengerti tujuan kehidupan manusia. Itulah yang mendorong Maharsi Patanjali menulis Yoga Sutra tanpa membedakan ras, agama, budaya, sebaliknya ia menulis Yoga Sutra untuk semua umat manusia agara senantiasa mengikuti ajarannya yang sangat universal, supaya manusia hidup sehat secara fisik, mental, dan moral, dengan melakukan dan mendalami Yoga.

Sumber: Majalah Yoga For Health a voice of Bali, Edisi 1, Februari 2008 hal. 18

Posted By: Rudiarta

Jumat, 21 November 2014

9 Mitos tentang Yoga

            Hai Lover, pada kesempatan ini UKM Yoga kembali memiliki artikel yang tentunya sangat sayang untuk dilewatkan. Artikel kali ini menyinggung tentang kenyataan bahwa banyak orang yang masih ogah-ogahan untuk ikut Yoga. Padahal memang tidak bisa dipungkiri lagi kalau Yoga sudah menjadi salah satu tekhnik latihan kebugaran yang paling favorit di era modern ini. Tidak lagi hanya oleh orang India sebagai negeri asal dari Yoga, tetapi Yoga sudah Booming bahkan sampai benua biru. Hal ini membuktikan bahwa Yoga yang merupakan salah satu filsafat India yang secara spiritual menjadi jalan menuju pelepasan kian diterima oleh masyarakat luas terutama karena efeknya pada kesehatan. Perkembangan Yoga di era modern ini juga lebih dikarenakan efek kesehatan yang diberikan bukan masalah Agama atau bahkan filsafatnya. Namun dibalik semua itu, ada oknum-oknum tertentu yang mencari pembenaran tersendiri untuk menutupi keengganannya dalam beryoga yang dalam hal ini penulis sebut sebagai 9 Mitos tentang Yoga, apa saja 9 mitos ini? Berikut penulis sajikan sesuai hasil copas dari http://intisari-online.com/read/9-mitos-tentang-yoga-apa-saja website tetangga :)
1.      Anggapan Yoga hanya untuk anak perempuan
Memang, artikel tentang yoga di majalah atau media lain paling sering diilustrasikan dengan gambar sosok perempuan dengan legging dan melakukan peregangan di atas karpet. Tapi jangan langsung memutuskan bahwa yoga adalah olah raga untuk perempuan. Bahkan, petinju profesional, pemain basket, pemain rugby, juga pegulat pun sering mengikuti yoga karena ideal sekali untuk latihan peregangan.
2.      Ungkapan “Saya tidak cukup lentur untuk Yoga”
Kelas Yoga ditujukan untuk orang-orang yang tidak bisa melenturkan tubuh dengan sangat fleksibel. Ingat, yoga merupakan senam kuno India yang mengembangkan fleksibilitas dengan lebih baik dari apa pun. Tubuh Anda menjadi lebih fleksibel, semakin jauh dari risiko cedera dan patah tulang.
3.      Ungkapan  “Saya sudah lentur, jadi saya tidak perlu Yoga”
Tujuan dari yoga tidak hanya untuk membuat Anda lebih lentur, tapi juga merupakan latihan spiritual. Mengikuti kelas yoga secara reguler memungkinkan Anda untuk menemukan kedamaian batin, relaksasi dan mengatasi stress dengan jauh lebih efektif. Selain itu, yoga mengajarkan pernapasan yang tepat dan meningkatkan kapasitas paru-paru.
4.      Ungkapan “Saya sudah mengikuti sesi Yoga, dan saya tidak menyukainya”
Ini bukan alasan untuk tidak pernah mencoba yoga lagi. Mungkin Anda takut terlihat canggung atau aneh di depan orang lain. Atau anda membutuhkan pelatih yang berbeda. Kemudian mulai melakukan yoga di rumah atau memilih berbagai jenis yoga (Bikram, Ashtanga, Kundalini, dll).
5.      Anggapan Gerakan Yoga terlalu rumit
Ya, beberapa gerakannya memang terlihat sangat rumit, tetapi Anda tidak akan diminta untuk melakukan gerakan itu pada pelajaran pertama Anda. Sama seperti tidak ada yang akan membutuhkan seseorang yang pertama kali datang ke gym untuk mengangkat bobot terberat. Menghadiri kelas yoga, praktekkan gerakannya, dan akhirnya Anda akan berhasil.
6.      Ungkapan “Tidak ada studio Yoga di dekat sini, jadi saya tak bisa ikut Yoga”
Nyatanya, Anda tidak perlu sebuah studio. Yoga dapat dipraktekkan di rumah. Ada banyak kursus yoga lewat video yang di internet, jadi tak ada alasan untuk tidak melakukan yoga, bukan? Selain itu apabila anda berasal dari daerah Mataram, NTB setiap hari minggu UKM Yoga di STAHN Gde Pudja Mataram membuka kelas Yoga untuk umum koq, Free lagi. Masak alasan ini masih berlaku?
7.      Ungkapan “Yoga adalah sebuah agama dan saya percaya pada Tuhan yang berbeda”
Tentu saja, yoga klasik didasarkan pada ketentuan Hindu sampai batas tertentu, tetapi versi modern dari itu tidak terhubung dengan agama. Ini termasuk latihan untuk tubuh dan pikiran. Walaupun memang kalau secara Spiritual Yoga sangat kental dengan Hindu.
8.      Ungkapan “Ada sejenis mantra di kelas yoga. Apakah saya harus menyanyikannya?”
Belum tentu. Beberapa instruktur benar-benar membunyikan sejenis “mantra” untuk siswa mereka selama kelas, tetapi hanya dalam rangka untuk membantu mereka berkonsentrasi penuh pada latihan. Apakah mereka mengganggu Anda? Jika ya, maka mintalah untuk menghentikannya, dan mainkan beberapa musik netral tenang atau suara alam.
9.      Ungkapan “Saya tidak punya waktu untuk Yoga”
Jika anda tidak bisa menghabiskan satu jam sehari melakukan yoga, maka sempatkanlah berlatih selama beberapa menit saja. Toh, yoga dapat dilakukan di rumah, di lift, di perjalanan ke tempat kerja, dan bahkan di kantor. Yang penting adalah, Anda punya keinginan untuk itu!
            Lover, itu dia 9 Mitos tentang Yoga jadi setelah membaca artikel ini jangan takut lagi ya, Yoga itu sifatnya universal tanpa memandang agama, ras, suku, bangsa, usia, maupun jenis kelamin. Jadi tunggu apa lagi, Let’s do Yoga Starting now.
Posted By:
 Rudi

DHARMA YOGA
SATYA!!!!

Selasa, 18 November 2014

PERJALANAN DANGHYANG DWIJENDRA (DANGHYANG NIRARTHA)

Pada akhir abad ke-15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan karena faktor dari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama Hindu akhirnya surut oleh pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya serta pulau Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang-orang Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih meninggalkan Majapahit. Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana sebagian besar masyarakatnya masih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti: Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para rohaniawan memilih untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali, selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa.
Salah seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Wetu Telu (Islam Tiga Waktu). Namun Terlepas dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya.
Perlu juga untuk diketahui bahwa perubahan nama Danghyang Nirartha menjadi Danghyang Dwijendra terjadi setelah beliau berguru dan didiksa oleh mertuanya, yaitu Danghyang Panawasikan. Setelahnya Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra sendiri merupakan putra dari Danghyang Asmaranata, yang merupakan tokoh rohaniawan Majapahit. Dalam perjalanan Dharma Yatranya ke Bali, beliau pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai barat daya daerah Jembrana untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup dan tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.
Danghyang Dwijendra menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali. Danghyang Dwijendra merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh para pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva yang agung. Semasa perjalanan Danghyang Dwijendra, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana. Pada waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Dwijendra banyak mendirikan Pura-Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura yang didirikan oleh Danghyang Dwijendra ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang Dwijendra juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Terkait dengan keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana diceritakan bahwa saking aktifnya beliau melakukan dharma keagamaan, perhatian beliau pada putra/putri dan istrinya berkurang, alhasil sesuai dengan intuisi/naluri seorang rsi, istri dan putra/putrinya meninggalkan rumah tanpa memberitahu. Danghyang Dwijendrapun mencari anggota keluarganya, alhasil sang rsi menemukan istri dan putra-putrinya dalam keadaan ketakutan tanpa, kecuali putrinya Dyah Swabawa. Sang rsipun mencari putrinya dengan mengikuti sepanjang aliran Tukad Aya ke arah hulu. Beliau akhirnya sampai di wilayah puncak gunung Merbuk di utara dan hingga akhirnya beliau sampai pada sebuah pura tua, yaitu pura Pulaki yang berlokasi tepat di pinggir karang padas yang menjorok ke laut. Sang rsi akhirnya mendapatkan sang putri dalam kondisi mengenaskan, karena ada penduduk desa Pegumetan yang mengganggu sang putri dengan cara yang tidak senonoh. Danghyang Dwijendra lalu menghukum orang-orang Pegumetan yang lancang itu dengan kutukan agar mereka menjadi wong gamang dan kemudian menjadi pelayan dan pengikut Dyah Swabawa yang kemudian disthanakan dan dihormati disana sebagai orang suci. Satu hal mendasar pula yang perlu diperhatikan, bahwa keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana adalah untuk menyadarkan I Gusti Ngurah Rangsasa yang merupakan pemimpin sekte Bhairawa di Jembarana yang terkenal kemampuannya pada saat itu.
Di lain kisah, diceritakan tentang bagaimana asal-usul Danghyang Dwijendra dikenal sebagai Pedanda Sakti Wawu Rauh di Bali. Cerita berawal ketika sang Rsi bersama keluarganya sampai di sebuah desa yang bernama Gading Wangi, penduduk disana kurus-kurus, pucat dan penyakitan karena sedang dijangkit epidemi, atau gangguan kulit. Ketika pertama kali melihat sang rsi mereka pada bertanya “Wawu Rauh?” dan kata itu berulang-ulang terucap dari bibir penduduk. Sang rsi sangat terharu dan dalam benaknya hanya berpikir bagaimana menyembuhkan penduduk desa, dan akhirnya beliau mengambil air bersih dari sumber mata air, lalu dimantrai dan selanjutnya diberikan pada penduduk desa. Keajaiban terjadi, beberapa hari berselang para penduduk desa sembuh dari penyakitnya, dan dari kejadian itu penduduk desa memanggil sang Rsi Pedanda Sakti Wawu Rauh.
Setelah meninggalkan desa Gading Wangi, sang rsi melanjutnya yatranya menuju Tabanan hingga sampai di Gunung Batukaru, yang mana disana terdapat Pura Batukaru. Namun tujuan beliau bukan disana, melainkan menuju desa Mas sebelum ke pusat kota Gelgel. Namun setelah perjalanan dari Tabanan, sang Rsi terlebih dahulu sampai di Tuban, dan keberadaan beliau di Tuban sampai ke telinga penguasa Badung Arya Tegeh Kori, Tegeh Kori sangat ingin berjumpa dengan sang Rsi. Akhirnya sang Rsi dijemput ke Tuban dan menawarkan agar sudi singgah di purinya di Badung.  Dalam perjalanan, Tegeh Kori mengiringi sang wiku menyaksikan banjir di desa Buagan, dan penduduk yang mengetahui kehadiran sang wiku mohon bantuan agar sang wiku dengan kekuatan gaibnya menjinakkan banjir itu. Sang Rsi memberikan sepotong kayu yang telah dirajah, dan akhirnya banjir manjadi cepat surut.
Setelah meninggalkan Puri Badung, sang Rsi melanjutkan perjalanan ke timur hingga sampai di desa Mas, yang mana kehadirannya telah lama dinanti-nanti oleh Pangeran Mas. Disinilah Danghyang Dwijendra meneta. Dari sinipun Danghyang Dwijendra menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan ini Danghyang Nirartha memiliki putra: Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran. Ada dua Bhisama dari Danghyang Dwijendra kepada seluruh keturunannya, yaitu:
1.      Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca – arca  perwujudan).
2.      Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.
Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana. Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang Dwijendra melarang semua keturunanya menyembah pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang Dwijendra mengagungkan Sadasiwa, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Segalanya dan hampir di semua pura di Bali saat ini terdapat pelinggih padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.
Kembali mengenai keberadaan sang wiku di desa Mas, Dalem Watu Renggong yang merupakan raja Gelgel mengutus Dauh Bale Agung untuk menjemput sang wiku, sesampainya di Mas, Dauh Bale Agung menemui sang wiku dan berbicara panjang lebar. Saking keasyikan bercerita dan menerima pencerahan dua hari dua malam telah berlalu dan ia baru teringat dengan perintah sang raja. Namun dalam benaknya ia berpikir apa boleh buat, kesempatan seperti ini hanya sekali seumur hidup dan ia sudah siap akan resiko yang akan diterima. Akhirnya keesokan harinya barulah Danghyang Dwijendra ditemani rombongan Dauh Bale Agung (dikenal juga dengan Gusti Penyarikan) berangkat menuju Gelgel. Rombongan sampai di ibukota Kerajaan, namun sayang Dalem tidak ada ditempat, Dalem kesal karena lama menunggu dan memutuskan pergi berburu ikan di Teluk Padang (Padang Bai) tempat dimana pesanggrahan Silayukti milik Mpu Kuturan. Sang Rsi dimohon langsung bergerak kesana, akhirnya sang Rsi sampai di Teluk Padang pada petang hari serta memutuskn bermalam bersama setelah bertemu Dalem. Banyak ajaran diberikan oleh sang wiku kepada Dalem beserta iringan, dan esoknya mereka kembali ke Gelgel. Hari demi hari berlalu, sang wiku berhasil menjadikan Dalem Watu Renggong muridnya, serta sikap Dalem yang keras berhasil diubah menjadi lebih bijaksana dan Dalem sendiri meminta agar didiksa oleh sang Rsi.
Setelah Dalem menjadi seorang raja Pandita, masalah-masalah dalam kerajaan Gelgel masih terus menunggu dan mengganggu. Masalah politik yang paling mengganggu adalah masalah dengan rivalnya di timur, yaitu Kerajaan Lombok. Penguasa Lombok yang merasa  agak kuat membiarkan pelaut-pelautnya mengganggu pelayaran di selat Lombok dan mulai berani mengganggu pemukiman nelayan Bali. Dan diluar dugaan ternyata Danghyang Dwijendra memohon diri agar dijadikan utusan untuk menyadarkan Sri Krahengan penguasa Lombok yang mulai berulah itu.
Maharsi Markandeya berangkat ke Lombok dari Pantai Kusamba dengan pengawalan perahu yang diberikan raja Gelgel. Di Lombok sang wiku bertemu dengan raja Krahengan dan segera melakukan perbincangan politik, namun apa daya usaha sang wiku sia-sia dan beliau segera balik ke Bali, dalam perjalanan ke Bali beliau selalu berpikir akan kegagalan yang telah diterima dan dalam benaknya mulai ada timbul ada keinginan untuk meninggalkan urusan keduniawian untuk menjadi seorang Sanyasin dan mengulang kembali perjalanannya dari barat ke timur menjadi perjalanan spiritual. Sesampainya di kerajaan Gelgel sang wiku menyampaikan kegagalan misinya ke Lombok dan memohon izin untuk undur diri dari urusan kerajaan serta berkehendak untuk mengulangi perjalanannya dari barat ke timur.
Dalem sebagai raja Gelgel mengizinkan keinginan sang wiku, dan beliau diantar ke Jembrana, perjalanan spiritual beliau dimulai dari tempat yang dekat dengan Purancak yang mana disana sudah ada Pura, dan beliau disambut oleh seorang Pemangku yang menyarankan agar beliau selalu menyembah perhyangan yang ada untuk keselamatan. Sang wiku mendengar dengan sabar, lalu beliau bertapa, yoga semadhi disana. Sesaat keajaiban terjadi, baru sang rsi beryoga bangunan yang disuruh memuja runtuh dan membuat pemangku ketakutan lalu menyembah maharsi Markandeya. Pemangku memohon agar pura itu diperbaiki sehingga ada tempat sembahyang, sang wiku memperbaiki pura itu lalu memberikan sehelai rambutnya pada pemangku untuk disimpan dan dijunjung di atas bangunan itu, dan sejak itu pura tersebut disebut pura Rambut Siwi.
Lepas dari Rambut Siwi sang wiku melanjutkan perjalanan ke Timur hingga tiba pada suatu tonjolan batu karang yang ditumbuhi pohon-pohonan., tonjolan itu adalah tanjung yang menjorok ke laut dan bagian tangahnya menyempit. Sang Wiku tertarik dengan tempat ini, lalu bergerak menuju ke ujung tanjung diikuti beberapa nelayan disana. Baru sampai hingga malam hari sang wiku bersama para nelayan tetap disana, para nelayan kemudian diberikan siraman rohani dan dinasihati untuk membangun perhyangin di tempat itu agar para nelayan mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam usahanya.  Beberapa hari selama sang Rsi disana tempat itu selalu menjadi tempat berkumpul para nelayan menerima berbagai wejangan, dan tempat itu kini menjadi Pura Tanah Lot di Tabanan.
Beranjak dari Pura Tanah Lot, sang Rsi melanjutkan perjalanannya menyisir pantai ke timur, hingga akhirnya beliau sampai di sebuah ujung tonjolan dengan tangga berbatu berbentuk cascade yang dapat dipanjatnya dengan mudah sehingga beliau mencapai bgian atas batu itu. Penduduk menyebut tempat ini Ulu Watu (Pangkalan batu). Di tempat ini sang wiku merenungi mengenai perjalanan yang sudah dilalui dan juga berpikir mengenai leluhurnya dari negeri Hindustan, belaiau juga bermeditasi disana sehingga nuansa spiritual tampat itu semakin meningkat, dan di tempat itu kini berdiri pura Ulu Watu. Beliau terus melakukan perjalanan ke timur menyisir pantai selatan, kemudian beliau melakukan semadhi di suatu tempat yang memiliki vibrasi bagus, dan sekarang tempat itu menjadi pura Goa Lawah. Dari tempat ini sang wiku melanjutkan perjalanan dan beliau berhenti kembali di suatu tempat yang bernama Samprangan dekat aliran sungai Sangsang, sebelum Tulikup. Selepas dari sana sang Rsi bergerak ke utara hingga penapakan beliau sampai pada Besakih-Penulisan-Ponjok Batu. Di Ponjok Batu sang wiku menemukan beberapa nelayan yang memerlukan bantuan beliau, para nelayan itu adalah pelaut-pelaut Lombok yang telah terdampar beberapa hari dan keadaaannya sangat lemah.
Sang wiku merawat dan memberikan nasihat untuk memulihkan semangat para pelaut itu. Akhirnya para pelaut sembuh, dan mereka amat berterimakasih kepada sang rsi. Mereka pun dengan senang hati menerima permintaan sang rsi untuk ikut berlayar ke Lombok. Sang Rsi pertama kali menginjakkan kakinya di daerah Malimbu, kemudian melanjutkan perjalanan menyisir pantai hingga sampai di pura Kaprusan sekarang. Diceritakan disana yang masih hanya berupa tumpukan batu beliau bermeditasi, dan untuk membuat petapakan beliau lalu masyarakat disana membangun pura yang dinamai Pura Kaprusan (nama kaprusan berasal dari kata “kaprus”, yaitu suara air laut yang dipecah karang). Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur sampai di Batu Bolong, kemudian sampai di Batu Layar. Selepas dari sana sang wiku menuju arah tenggara dan sengaja menjauh dari ibu kota Sri Krahengan yaitu Cakranegara menuju Karang Medain, Lingsar dan Suranadi.
Di Lingsar, sang Rsi memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada orang-orang sasak yang beragama Islam, para umat islam yang menerima pencerahan dari Danghyang Dwijendra adalah para kelompok Islam Wetu Telu dengan bangunan suci yang disebut Kemaliq. Sedangkan untuk di Suranadi berkat sang wiku, muncul empat sumber tirta yang disebut Catur Tirta, yaitu tirta penglukatan, tirta pembersihan, tirta pengentas dan toya racun. Selepas dari Suranadi, sang wiku bergerak ke timur menuju pantai timur Lombok dengan mengikuti busur yang bersebelahan dengan lereng gunung Rinjani yang meluas ke selatan. Keberadaan sang wiku di dengar oleh Sri Selaparang dan mengajak sang wiku secara paksa untuk bertamu ke kotanya, sang wiku menolak dengan halus dan untuk tidak mengecewakan Sri Selaparang sang wiku mengajaknya berdialog di tepi pantai Labuhan Haji. Sri Selaparang diberikan nasihat yang sangat menyejukkan kemudian pulang ke kotanya sementara sang wiku berlayar menuju Sumbawa.
Danghyang Dwijendra yang telah berusia 80 tahun setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau Lombok, memutuskan berlayar menuju Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan Lombok yang pernah dibantu saat mereka terdampar di Ponjok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu-sekarang) di Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk Sumbawa. Kedatangan Danghyang Dwijendra disambut Kepala Desa dan tokoh masyarakat setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di sana sedang kesusahan, akibat gagal panen akibat diserang hama penyakit. Atas permohonan kepala desa itu, akhirnya Danghyang Dwijendra terpanggil membantu masyarakat petani dimaksud. Beliau lantas memerintahkan masyarakat setempat untuk mengisi sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan kemenyan. Dengan memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora, keesokan harinya tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa bekas. Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan Semeru.
Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua motivasi Danghyang Dwijendra melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni, karena rasa kekaguman dan kerinduan yang mendalam untuk melihat Gunung Tambora ke dalam rasa keagamaannya membayangkan bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa jejak Siwa yang paling timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa dipertahankan keajegannya di daerah ini. Di samping itu,  adanya hasrat yang besar  untuk bertemu dengan kerabat leluhurnya  yang merupakan seorang Brahmana Siwa yang sebelumnya diutus dan ditugaskan Raja Majapahit (tahun 1344 Masehi) untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa. Setelah armada Majapahit  di bawah pimpinan  Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan raja-raja yang ada di pulau Sumbawa. Danghyang Dwijendra berharap dapat bertemu dengan putra-putri beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu seangkatannya. Setelah mendapat informasi dari penduduk Sumbawa, bahwa kerabatnya telah lama meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan ke Gunung Tambora, masuk ke Teluk Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan pulau Moyo dan akhirnya sampai di pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.
Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa sesekali mulai mengeluarkan asap dan lidah api. Di pelabuhan itu, beliau kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu ternyata telah lama mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau, penghulu itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan usaha telah dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil. Selanjutnya Danghyang Dwijendra mencoba mengobati dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu itu pun berhasil dibantu. Sebagai ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan anaknya diajak ke Bali. Selama berada daerah ini, Danghyang Nirartha kerap melakukan payogan. Salah satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung Gunung Tambora dimaksud. Seperti halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah beryoga, tempat itu selalu menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud mampu memancarkan aura spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian besar jejak perjalanan beliau, kini dibangun sebuah tempat yang megah serta banyak umat yang datang memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, tak terkecuali di Pura Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura kesejukan, kedamaian, dan ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan tinggi.
Setelah mengadakan dharmayatra ke Pulau Lombok dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Itulah sebabnya tempat kejadian ini disebut Cangeling dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang. Oleh karena itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.
Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Lombok dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk istirahat. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu. Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala dan watu berarti batu.

Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.


Penulis: I Wayan Rudiarta
Sumber: Berbagai sumber


Jumat, 14 November 2014

Tirta Yatra 2014

Keakraban di Balik Tirta Yatra 2014

Sabtu, 25 Oktober 2014 merupakan hari yang spesial bagi UKM Yoga STAHN Gde Pudja Mataram, pasalnya pada hari itu UKM Yoga bersama UKM Tari dan UKM Upakara melaksanakan Tirta Yatra Bersama. Sudah sangat lama Mahasiswa STAHN Gde Pudja Mataram tidak melakukan perjalanan suci secara bersama-sama. Tirta Yatra kali ini dikoordinir oleh Desak Made Budi Suastiti yang ditemani oleh Gusti Ayu Alet Irmawati sebagai sekretaris panitia. Walaupun panitia inti adalah para Yogi UKM Yoga, tidak menjadi suatu kendala, dan bahkan acara bisa terlaksana dengan sangat sukses. Semua persiapan bisa dikoordinir dengan prosedur dan langkah yang tepat.
Tirta Yatra Kali ini, menuju empat Pura yatu pura Batu Beleq, Pura Medana, Pura Kaprusan, dan Pura Batu Bolong. Hal ini didasari pertimbangan bahwa pada tahun sebelumnya Tirta Yatra sudah dilaksanakan menuju pura-pura yang ada di selatan Lombok. Untuk nuansa yang berbeda makanya pura-pura di jalur utara yang menjadi tujuan. Tirta Yatra kali ini mengambil tema “Meningkatkan Solidaritas melalui Tirta Yatra 2014” dengan harapan agar para anggota UKM semakin akrab dan seakan-akan semua adalah saudara dengan dilaksanakannya Tirta Yatra ini. Hal ini terlihat dari baru persiapan saja diantara anggota UKM sudah saling bahu-membahu, saling mengisi kekurangan dan semua kegiatan disertai dengan canda tawa. Begitu pula ketika acara berlangsung, dari ada anggota yang tidak saling kenal menjadi saling sapa satu dengan yang lain.
Ada yang berbeda antara Tirta Yatra tahun ini dibandingkan tahun kemarin, pasalnya Pembina UKM Yoga, bapak Joko Prayitno menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah para peserta Tirta yatra yang tahun ini berjumlah 53 orang. Dengan jumlah peserta yang cukup banyak ini juga, jumlah angkutan yang digunakan juga lebih banyak dari tahun lalu, kalau sebelumnya hanya menyewa 1 bis, tahun ini panitia juga menggunakan bis kampus. Tirta Yatra dimulai dengan persembahyangan di Pura Saraswati sekitar jam 07.00 pagi, semudian selesai sembahyang dan matur piuning di pura Saraswati perjalanan langsung menuju pura Batu Beleq, dengan jarak tempuh kurang lebih setengah jam. Selesainya perjalanan dilanjutkan ke Pura Medana yang ada di kawasan Lombok Utara. Di pura Medana menyita waktu lumayan lama, sehingga para panitia dan peserta melaksanakan makan siang disini. Selesai makan siang perjalanan lanjut ke Pura Lingsar sebelum nantinya tujuan terakhir adalah Pura Batu Bolong.
Perjalanan suci UKM Yoga tahun ini dilaksanakan tidak lebih sampai jam 04.00 sore, setelahnya rombonganpun kembali ke kampus. Walaupun dalam waktu yang singkat, tetapi kegiatan ini memberikan kesan yang baik untuk para anggota terlebih para peserta adalah sebagian besar anggota baru UKM Yoga yang bergabung di tahun ajaran 2013/2014 ini. Dan semoga kegiatan semacam ini akan terus mentradisi sehingga keakraban bisa dicapai dengan jalan Sradha dan Bhakti.

DHARMA YOGA!!!!

Reported By:

             UKM Yoga

Kamis, 13 November 2014

Gerakan Pemanasan dalam Yoga (4)

Pemutaran persendian bahu
Hai Lover, Gerakan pemanasan selanjutnya yang biasa dilakukan oleh UKM Yoga adalah pemutaran persendian bahu, mau tahu bagaimana caranya? ini dia:

Teknik : Tekuk kedua siku dan letakkan kedua tangan di bahu kemudian putar ke depan dan ke belakang masing-masing dengan hitungan 4 s/d 10 kali

Manfaat : meregangkan serta memberikan pemijatan pada lengan, bahu, dan punggung


Mau Tahu gerakan pemanasan lainnya ala UKM Yoga? Klik disini!!!! Terima Kasih

Dharma Yoga!!!

Jumat, 31 Oktober 2014

Gerakan Pemanasan dalam Yoga (3)

Hai Lover, masih update kan dengan postingan dari UKM Yoga? Kali ini kami kembali berbagi informasi mengenai pemanasan dalam yoga, terkhusus pada daerah siku. Mau tahu bagaimana gerakannya ini dia:

Peregangan di daerah siku
Teknik               : Kedua lengan tetap pada posisi semula kemudian tekuk siku dan luruskan kembali sekencang-kencangnya dengan hitungan 4 s/d 10 kali

Manfaat             : mengendorkan otot-otot dan persendiaan di daerah siku dan lengan serta memperlancar peredaran darah



Untuk melihat gerakan pemanasan dalam yoga lainnya bisa diklik disini!

DHARMA YOGA!!!

Rabu, 22 Oktober 2014

Gerakan Pemanasan Sebelum Yoga (2)

Hai Lover, setelah posting sebelumnya UKM menyajikan peregangan di daerah kepala sekarang kembali disajikan mengenai beberapa gerakan peregangan di daerah lengan, adapun gerakannya adalah:

Gerakan 1 : Pengepalan tangan

Teknik : Luruskan kedua lengan ke depan badan kemudian kepalkan jari-jari tangan dan     buka kembali sekencang-kencangnya. Ulangi gerakan ini dengan hitungan 4 s/d  10 kali



Gerakan 2 : Penekukan Pergelangan Tangan

Teknik : Tekuk kedua tangan pada pergelangannya menghadap ke bawah kemudian buka kedua tangan menghadap ke atas sekencang-kencangnya. Ulangi gerakan ini dengan hitungan 4 s/d 10 kali


Gerakan 3 : Pemutaran sendi pergelangan tangan
Teknik : Kepalkan kedua tangan kemudian putar pada pergelangannya ke dalam dan keluar masing-masing dengan hitungan 4 s/d 10 kali

Manfaat :  Untuk mengendorkan atau melemaskan otot-otot dan persendiaan pada tangan



Itulah beberapa gerakan peregangan tangan ala UKM Yoga STAHN Gde Pudja Mataram, bagi sahabat blogger yang ingin melihat modul lainnya bisa diklik disini!!
Dharma Yoga!!!!


Senin, 20 Oktober 2014

Gerakan Pemanasan Sebelum Yoga (1)

Hai Yoga Lover... setelah sekian lama tidak ada posting kali ini UKM Yoga kembali berbagi informasi seputar Yoga. Nah kali ini postingan mengenai gerakan pemanasan yang biasa dilakukan sebelum melangkah ke Asana dari yoga itu sendiri dan tentunya apa yang kami postingkan sesuai dengan yang diterapkan oleh UKM Yoga STAHN Gde Pudja Mataram. Pemanasan dimulai dari

Peregangan di  daerah leher
Teknik   : Untuk gerakan statis, gerakkan kepala secara perlahan ke samping kanan, ke samping kiri, tekuk ke kiri dan ke kanan, tekuk ke bawah dan tengadah ke atas masing-masing 4 s/d 10 kali hitungan. Kemudian untuk gerakan dinamisnya, putar kepala ke kiri dan ke kanan secara perlahan dengan hitungan 4 s/d 10 kali. Pada gerakan ini diusahakan nafas dalam keadaan normal dan santai serta rasakan peregangan di daerah leher

Manfaat : Untuk menyelaraskan atau menyeimbangkan semua urat saraf  tubuh yang terhubung dengan otak









Doa Sebelum-Sesudah Melakukan Yoga (Ala UKM Yoga STAHN Gde Pudja Mataram)

Doa Sebelum Latihan Yoga Asana
Gayatri :
Om,.....Om,.....Om
bhur bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat
Guru :
Om gurubrahma guruvisnur
gurudevo mahesvarah
guruh saksat param brahma
tasmai srigurave namah
Maha Mrityunjaya :
Om trayambakam yajamahe
sugandim pusytivardhanam
urvarukamiva bandhanam
mrtyormuksiya ma ‘mrtat


Om Santih, Santih, Santih, Om.

Doa Setelah Latihan Yoga Asana
Om,......Om,......Om
Sarve bhavantu sukhinah
sarve santu niramayah
sarve bhadrani pasyantu
ma kascid dukha bhag bhavet

Om Santih, Santih, Santih, Om.

Kamis, 25 September 2014

KISAH MAHAYOGI MARKANDEYA


            Mahayogi Markandeya adalah seorang Mahayogi yang berasal dari India. Beliau datang ke bumi Nusantara pada abad ke-2 dan bermukim di daerah pegunungan gunung Rawung di Jawa Timur. Mahayogi Markandeya dikenal sebagai seorang Mahayogi yang memiliki banyak pengikut di Jawa Timur. Sekitar tahun 158 Masehi, Mahayogi Markendeya melakukan Tapa Yoga di Gunung Rawung. Tak berselang lama dalam pertapaannya beliau mendapatkan wahyu berupa suara gaib dan sinar terang berderang yang terlihat di arah Timur.
            Terlihatlah sederetan gunung-gunung dari barat ke timur yang berjejer berwarna hijau nan subur. Suara gaib itu mengarahkan agar sang Yogi datang bersama pengikutnya ke pulau yang disebut panjang (Dawa) karena berderet gunung-gunung yang memanjang dari barat ke timur, untuk membuka lahan baru. Mahayogi Markandeya dengan segera mengumumkan kepada para pengikutnya, maka sejumlah kurang lebih 800 orang bersedia untuk hijrah ke Pulau Dawa atas saran Mahayogi untuk membuka lahan baru. Setelah perlengkapan dan perbekalan dirasakan telah siap maka berangkatlah rombongan Mahayogi Markandeya menuju pulau Dawa, rombongan ini mengalami banyak musibah, binatang-binatang buas macan, ular dan binatang buas lainnya banyak yang menerkam pengikut-pengikut Mahayogi Markandeya saat merabas hutan. Selain itu banyak pula pengikut-pengikut Mahayogi yang terserang wabah penyakit hingga banyak yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
            Melihat kenyataan ini, Mahayogi sangat sedih dan kecewa, pasti ada sesuatu yang kurang beres dalam misi ini. Akhirnya Mahayogi memutuskan untuk kembali ke Gunung Rawung bersama pengikut-pengikutnya yang masih tersisa. Sesampainya di Gunung Rawung Jawa Timur, Mahayogi Markandeya bertapa kembali untuk memohon petunjuk kepada hyang kuasa. Setelah selesai bertapa beliau kembali memberitahukan kepada pengikut-pengikutnya tentang rencana untuk kembali ke pulau Dawa. Kali ini beliau mengikutsertakan para Yogi lainnya. Untuk keberangkatan yang kedua kalinya, telah terkumpul orang-orang yang sebagian besar dari desa Aga yang berjumlah kurang lebih 400 orang lengkap dengan alat pertanian termasuk sejumlah bibit sarwapala yang dibawa untuk pembukaan lahan baru. Setibanya di pulau Dawa dan sebelum merabas hutan, diadakan upacara yang dipimpin oleh Mahayogi Markandeya beserta para Panditha, Rsi dan para Yogi lainnya. Upacara ini memohon kepada Tuhan dan Ibu Pertiwi agar diperkenankan untuk mengolah lahan yang akan dijadikan pertanian. Tak lupa pula dimohonkan agar wabah penyakit dan binatang-binatang buas tidak menjadi kendala untuk misi ini.
            Setelah upacara yang dilakukan oleh Markandeya bersama orang-orang Desa Aga selesai, maka dilanjutkan dengan prosesi penanaman sarana yang disebut Pancadatu (liam jens logam, yaitu: perak, tembaga, emas, besi, dan timah, disertai pula permata mirah). Sebagai simbol kelima unsur elemen agar pengolahan lahan baru ini berjalan lancar. Mahayogi Markandeya memberi nama “Basuki” pada penanaman Pancadatu tersebut, karena Basuki memiliki arti Rahayu atau selamat. Akhirnya saat ini nama Basuki itu dikenal dengan nama Desa Besakih di lereng Gunung Agung. Disaat Mahayogi membagi-bagikan sawah dan ladang kepada para pengikutnya, maka tempat tersebut diberi nama “Desa Puwakan” (puwakan=pembagian).
            Di tempat dimana Mahayogi beryoga disebut Desa Payogan, Campuan, Ubud. Selanjutnya di Desa Taro (Taro = Taru, Taru = Kayu, Kayu berarti Kayun, Kayun = keinginan, dalam hal ini berarti memiliki keinginan suci dan berpikiran suci) yang artinya sang Yogi mengajarkan ajaran dan pikiran suci. Selanjutnya orang desa Aga disebut Bali Aga yang berarti orang-orang dari desa Aga yang melakukan wali = kurban suci. Semenjak itu pulau Dawa dikenal dengan nama pulau Wali/Bali.
            Mahayogi Markandeya pun mengajarkan sistem bertani yang dikenal dengan sistem “subak” dan mengajarkan sistem bermasyarakat yaitu adat Banjar, Pekasehan, dan tugas serta kewajiban masing-masing. di tempat dimana beliau mengajarkan agama, akhirnya dikenal dengan sebutan “Desa Payangan” (Payangan berasal dari kata Parahyangan yang berarti para dewata). Di kemudian hari, dimana tempat tinggal beliau, didirikan pura Taro, di desa Besakih juga didirikan Pura Besakih.
            Demikian kisah Mahayogi Markandeya di tahun 158 Masehi yang membawa para pengkutnya dari Gunung Rawung dan desa Aga, Jawa Timur ke pulau Dawa untuk membuka lahan baru hingga pulau ini dikenal dengan nama pulau Bali yang terkenal dengan pura Besakihnya dimana beliau menanamkan pancadatu untuk memulai merabas hutan yang nantinya menjadi lahan pertanian dan perladangan untuk mengisi kehidupan pada pulau ini. Karena pulau ini telah lama kosong semenjak penduduk asli Bali yang hidup di zaman raja Bali yang pernah bertemu dengan Mahayogi cebol yang bernama Wamana, yang mana atas permintaan sang Wamana meminta 3 langkah kaki sebagai wilayahnya, akhirnya raja Bali beserta rakyatnya harus menuju ke alam bawah yang disebut patala. Pada zaman Ramayana, Sugriwa pernah mengirim pasukannya untuk mencari Dewi Sitha hingga ke pulau “Narikel” yang artinya kepulauan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa (Sunda Kelapa = Sumatra, Jawa, Madura, dan Bali). Yang ditemukan hanyalah saksi-saksi bisu di masa raja Bali.
            Namun berkat kedatangan Mahayogi Markandeya beserta pengikutnya, maka pulau ini hidup kembali dan dikenal dengan nama pulau Bali.
Sumber: Majalah Yoga for Health a voice of Bali edisi 11- Desember 2008

Posted By:

Rudiarta

Rabu, 24 September 2014

DAFTAR ALUMNI UKM YOGA STAHN GDE PUDJA MATARAM


No
Nama
Alamat
No. Hp
1
Ketut Edi Ariawan, S.Ag., M.Pd.H
Mataram
081917304829
2
I Wayan Wyasa, S.Pd.H
Bali
081803606669
3
I Wayan Sugiana, S.Pd.H
Gunung Sari
081936790701
4
I Wayan Jati, S.Sos.H
Sindu, Lombok
081803668335
5
I Nengah Putra Kariana, S.Pd.H
Suranadi, Lobar
081999454234
6
I Putu Agung Sanjaya, S.Pd.H
Mataram
081907677771
7
I Gede Suardana, S.Sos.H
Mataram
081998998884
8
I Wayan Sulandep, S.Pd.H
Sulawesi Selatan
085205407167

Yang Paling Sering dikunjungi